Pekan lalu, tepatnya pada hari Rabu di akhir bulan September, saya memiliki kesempatan pergi ke Jakarta untuk menghadiri sebuah diskusi yang diadakan oleh Celios_id. Dari Garut, saya tidak terlalu banyak memiliki pilihan transportasi, dari rumah menggunakan ojek online dengan membayar Rp12.000 untuk sampai ke stasiun Garut dan dari sana saya sambung dengan mengandalkan kereta Cikuray bertarif Rp. 45.000 yang hanya memiliki satu jadwal yaitu pada pukul 6.30 pagi hari.
Bagi seorang pemuda pekerja lepas yang sedang berupaya mengejar beasiswa studi lanjut seperti saya, pilihan menggunakan kereta Cikuray merupakan pilihan terbaik, karena hanya komuter tersebut yang memiliki harga sangat bersahabat dengan dompet.
Meskipun perjalanan dari Garut menuju ke Jakarta menghabiskan waktu tidak seperti biasanya–saya terbiasa menggunakan mobil yang membutuhkan waktu 4-5 jam, sedangkan menggunakan kereta Cikuray menghabiskan waktu sampai 6 jam. Meskipun menghela, tetapi saya tidak punya banyak pilihan.
Setibanya di Stasiun Pasar Senen Jakarta dan seperti biasanya, polusi udara Jakarta tidak terlalu bersahabat dan langit dihiasi matahari yang menyengat. Saya diberi informasi oleh kawan yang akan ikut hadir dalam diskusi, bahwa untuk melanjutkan perjalanan dari Stasiun Pasar Senen Menuju Stasiun Jatinegara, yang paling efektif adalah menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) “tapi lu harus punya e-money card dulu bim” pungkas kawan kepada saya. Saya yang asing dengan transportasi umum Jakarta, terpaksa harus membeli kartu e-money di supermarket terdekat dengan kekhawatiran dan kepenasaranan bahwa apakah KRL ini akan lebih mahal dibandingkan ojek online yang awalnya saya rencanakan.
Kartu e-money pun terbeli dan saya isi saldo Rp50 ribu. Saya pun berjalan menuju peron KRL yang menuju Stasiun Jatinegara. Sebelum menunggu kereta datang, saya perlu tap kartu e-money yang saya beli tadi. Sebelum melanjutkan langkah, begitu kagetnya saya ketika melihat layar mesin bahwa saldo saya hanya berkurang Rp3 ribu atau dalam bahasa lain, ongkos menggunakan KRL hanya 3 ribu untuk sampai Stasiun Jatinegara dari Stasiun Pasar Senen.
Saya kaget mengetahui bahwa harga naik KRL jauh lebih murah dibandingkan harga naik angkot yang biasa saya tumpangi di Garut. Kekaguman saya tidak berhenti di sana.
Singkat cerita, sesampainya saya di Stasiun Jatinegara, saya menelepon kawan dan menanyakan transportasi apa yang harus saya gunakan setelah dari sini, lalu ia menjawab ‘kalo udah sampe Jatinegara, lu jalan kaki 10 menit sampe Halte A, Abis itu Lu naik Jaklingko nomor 10, itu langsung berhenti deket kosan gue’ ucapnya.
Saya pun meng-iya-kan instruksinya dengan berjalan 10 menit menuju Halte A yang di pandu Google Maps dan dengan menunggu 5 menit, Jaklingko pun tiba ‘oalaah angkot ieumah, suganteh naon jaklingko teh’ karena memang memiliki bentuk persis seperti angkot yang ada di Garut, kemudian saya pun menaiki Jaklinko tersebut..
Namun, sebelum duduk lagi-lagi penumpang perlu nge-tap out kartu dan kemudian mencari tempat kosong untuk duduk. Seperti sebelumnya, saya mengira bahwa harga menaiki Jaklinko itu sama dengan menggunakan KRL yaitu Rp. 3000 tapi ternyata, dugaan saya salah.
Ternyata saya tidak membayar sepeserpun uang untuk menaiki angkutan umum tersebut atau dalam bahasa lain ‘GRATIS’. Saya pun kaget kedua kalinya dengan mengetahui bahwa angkutan tersebut 0 rupiah, karena itu merupakan pengalaman pertama seumur hidup saya menaiki angkot secara gratis.
Setibanya di kos kawan, saya menceritakan perjalanan saya tadi kepadanya dengan antusias. Kemudian ia memberikan penjelasan dan informasi dengan sederhana ‘semua KRL, Transjakarta, yang ada disini, lu cuma perlu bayar 3000 tapi buat Jaklinko atau Angkot, kemanapun gratis. Lu bisa keliling Jakarta sepuas lu tanpa bayar-bayar’ ucapnya. Wow..
Saya pun semakin kaget dan terkagum-kagum dengan fasilitas transportasi umum yang ada di Jakarta ini karena sangat jauh aksesibilitas dan kualitasnya dengan yang ada di Kabupaten Garut, tidak hanya kemudahan akses yang didapatkan oleh masyarakat tetapi juga keekonomian harga yang ditetapkan tidak menguras kantong masyarakat untuk bepergian.
Seketika saya berpikir dan membayangkan jika Garut memiliki transportasi umum yang terintegrasi dan ekonomis, dengan kemudahan akses yang didapatkan oleh masyarakat, untuk pergi dari rumah mereka menuju suatu tempat atau para pelajar dari mulai SD sampai mahasiswa yang akan berangkat menuju sekolah atau kampus mereka untuk menimba ilmu atau para pekerja yang pagi-pagi harus sampai kantor untuk menghindari telat agar tidak dimarahi bos.
Mereka semua tidak perlu khawatir untuk mencari kendaraan umum yang akan membawa mereka sampai ke tujuan dengan efisien dan efektif, karena semua sudah tersedia dengan akses yang mudah dan harga yang ekonomis.
Disisi lain, bervariasinya pilihan moda transportasi publik yang tersedia dan dibarengi dengan harga yang terjangkau, hal tersebut sangat meringankan beban masyarakat untuk biaya operasional aktivitas dan mobilitas masyarakat. Dengan biaya yang sangat terjangkau tersebut, masyarakat bisa mensubstitusikan biaya perjalanan untuk keperluan yang lain, bisa untuk memasak atau membeli makanan, atau untuk membeli perabotan baru untuk rumah. Hal itu dapat terjadi dengan melalui integrasi transportasi publik dan mengontrol keterjangkauan harga.
Langkah untuk menciptakan transportasi publik yang terintegrasi tersebut, bagi Garut tentu bukanlah hal yang mudah, langkah menuju kesana dapat diawali dengan perbaikan infrastruktur penunjang transportasi umum yang dikontrol dan digagas oleh pemerintah daerah. Namun, dalam situasi konstelasi Pilkada saat ini, saya menerka, kira-kira siapa calon pemimpin yang memiliki keterbukaan dan pandangan strategis terhadap pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang mobilitas dan aktivitas masyarakat?
Oleh : Bimantara Muhammad
Temukan saya, di 👇🏻
https://www.instagram.com/bimantaramu?igsh=aDhteHN4M2d2OXdu&utm_source=qr
Atau